Monday, September 19, 2011

A Short Trip to Yogyakarta (Craft & Cuisine Review)

September 2011,

Bukan waktu yang lama untuk berlibur, hanya dua malam. Saya luangkan waktu untuk me-refresh kepenatan saya dengan berwisata ke Kota Yogyakarta. Bersama dengan dua sahabat saya, Ms. Zeng dan Raden Welly, beserta camilan wajib selama perjalanan, Jumat pagi, 2 September 2011, kami berangkat. Wisata kali ini adalah wisata hemat. Kami mengendari mobil pribadi dan menikmati akomodasi gratis di rumah tinggal keluarga Raden Welly yang wong Yogya asli. Awalnya kami hanya ingin menikmati wisata kuliner dan menemani Ms. Zeng yang belum pernah menginjakkan kakinya di tanah Yogyakarta. Namun, seiring perjalanan kami menemukan hal-hal menarik yang harus saya share pada para penikmat seni dan kuliner.

Sebelum tiba di Kasultanan Yogyakarta, baiknya jika kita menyapa saudaranya, Kasultanan Surakarta alias Kota Solo. Satu hal yang saya incar dari Kota Solo, nasi liwet! Rumah Makan Adem Ayem, Jl. Slamet Riyadi 342, berada di rute Solo – Yogya dan menurut R. Welly menyediakan nasi liwet yang mantab. Tiba di sana larut malam, well, it was not my lucky day, habiss... But it’s okay, RM Adem Ayem got a great impression from me. Sambutan mereka sangat ramah dan tulus, tidak seperti yang sering saya jumpai di Surabaya untuk restoran sekelasnya. I’m really in love with public places which provide a great hospitality service. Tidak dapat nasi liwet, nasi langgi pun jadi. Enak tenan! So, do not doubt about RM Adem Ayem yang katanya sudah berdiri sejak tahun 1969. Meskipun saya tidak kebagian nasi liwet-nya, ini tetap akan menjadi rekomendasi saya bagi Anda jika mampir ke Kota Solo.

Hari berikutnya, Sabtu, 3 September 2011, Keraton Yogyakarta. A great palace! Namun, agak membosankan bagi saya yang sudah berkali-kali ke sana. Kami ke Keraton untuk menemani Ms. Zeng yang penasaran. But that’s not the point. Seorang pemandu wisata menawarkan diri untuk mengantar kami keliling dalam Keraton dan ia berkata bahwa hari ini adalah hari keberuntungan kami karena bisa melihat sebuah sanggar batik yang tidak setiap hari dibuka untuk umum. I’m sorry, I don’t remember the name yet don’t get the exact address of the studio, but I’ll tell you all what I know. Keluar dari komplek Keraton, saya sarankan Anda mencari informasi di mana letak komplek tempat tinggal para abdi dalem Keraton (orang-orang dengan loyalitas tinggi yang bekerja dalam Keraton dan dihidupi oleh Keraton). Di dalam gang sempit yang diapit oleh dinding putih era kolonial, di sanalah sanggar tersebut berada. Saya tidak menemukan satu hal pun yang menarik hingga saya melihat karya seni di dalamnya. Seni lukis batik!


BBB, Bukan Batik Biasa! Mata saya terpanah pada salah satu karya masterpiece di sana, lukisan ikan ko’i. Terdengar seperti lukisan yang umum, tapi saya dan R. Welly adalah praktisi dan pengamat seni, kami yakin kami bisa menilai karya yang baik. Suatu penggambaran sembilan ekor ikan ko’i dengan gaya kontemporer yang diciptakan dari beberapa potongan pattern batik beraneka warna ke dalam badan seekor ikan. Terlihat seperti seni quilting yang terbuat dari komposisi potongan-potongan kain perca. Namun, ini adalah sebuah kesatuan karya, bukan rakitan. Saya tidak pernah menemuinya dalam retail store di Yogyakarta, Bali, atau tempat lain. Ya, karena itu bukan retail item. Mereka mematok harga untuk setiap karya seni di sana. Namun, ini bukan sekedar tempat jual-beli antar penjual dan pembeli. Karya seni itu berada dalam lingkup konservasi Keraton Yogyakarta. Jika Anda tertarik, Anda akan didata sebagai pemilik. Tidak diperkenankan secara sembarangan memperjual-belikan karya tersebut. Setiap berpindah tangan, karya tersebut akan memiliki data pemilik yang lengkap dan jelas di bawah pantauan Keraton. Anda penasaran?

Next, it would be another delicious stuff, Rumah Makan Mang Engking, Jl. Soragan 13, Bantul, Yogyakarta. Rumah makan ini sudah berdiri cukup lama, tapi saya belum pernah ke sana. Saya disambut oleh sebuah kastil Eropa bergaya arsitektur gothic. Hmm... Tidak asing melihatnya, persis seperti salah satu rumah makan di Surabaya yang baru beroperasi kurang lebih satu tahun # wondering... #. Anyway, It’s about the prawn, udang bakar madu! Itulah menu andalan di sini. RM Mang Engking memiliki banyak cabang, salah satunya di Surabaya. Namun, saya yakin, saya rasakan, udang bakar madu di sini berbeda dengan dengan di Surabaya. Udang galah di sini dibakar dengan proses pembakaran yang lebih baik (jarang saya temukan bagian yang gosong).

Setelah puas memanjakan perut, kami lanjutkan perjalanan kami ke salah satu pusat kerajinan seni di Kota Yogyakarta. This is my favorite place! Kami pergi ke Kasongan, Bantul. Kasongan adalah sentra kerajinan gerabah yang sudah dikenal sejak lama. Sama sekali tidak ada niat untuk membeli apapun dalam perjalanan saya kali ini karena tujuan saya adalah wisata kuliner. Namun, niat itu berubah saat saya melihat banyaknya galeri lukisan dan dekorasi interior lain yang makin menjamur selain workshop gerabah di sana. Tempat ini mengingatkan saya pada Ubud, Bali. Seniman Yogya ternyata mampu bersaing dengan seniman Bali. Dan, yang paling menarik adalah harga yang mereka tawarkan, sudah jelas jauh di bawah harga karya seni di Pulau Bali.


Saya pun mampir ke salah satu galeri dengan lukisan wajah Marilyn Monroe di tepi jalan yang memikat mata saya, Kembang Square. Berbeda dengan galeri-galeri lain, dikelola oleh sepasang young artists, galeri ini menjual karya seni bergaya pop-art. Setelah berkeliling, akhirnya saya putuskan untuk membeli dua buah lukisan cat akrilik yang berukuran 180 cm x 60 cm dan 80 cm x 80 cm. It is a place to bargain. Saya mendapatkan kesepakatan harga akhir sebesar Rp 650.000,- untuk dua buah lukisan tersebut beserta bingkainya. What do you think? I think it’s pretty cheap for those. Well, I’m not a good bargainer actually... Mungkin Anda bisa menawar dengan lebih baik.

Matahari sudah mulai terbenam. Kami berencana menikmati malam minggu di pusat kota. Pernah dengar Mirota? Ya, salah satu pusat belanja kerajinan dan oleh-oleh khas Kota Yogyakarta. Hahaha, kami tidak menghabiskan malam minggu di sana... House of Raminten, Jl. FM. Noto 7, Yogyakarta, adalah salah satu tempat hang out yang nyentrik di pusat kota. So, who is Raminten anyway? Raminten adalah maskot cafe tersebut, seorang wanita berusia 50 tahunan dengan tubuh subur yang menggenakan kebaya dan sanggul khas wanita Jawa Tengah. What’s so interesting about that? Ternyata, beliau adalah seorang pria yang cukup terpandang di Kota Yogyakarta, direktur utama Mirota, Bp. Hamzah, yang dipaksa untuk mengenakan kebaya dan dirias sebagai seorang wanita. “Jangan panggil aku Raminto. Panggil aku Raminten...” That is the tagline!

Hari terakhir, kami mampir ke Bakpia Merlino, Jl. RE. Martadinata 24 B, Yogyakarta, untuk membeli beberapa buah tangan. Bakpia satu ini memang berbeda dengan yang lain. Jika bakpia umumnya berisi kacang hijau, Bakpia Merlino menawarkan rasa kacang hitam, cokelat, keju, susu, cappucino, green tea, dan (yang paling spesial) durian di dalamnya. Special price for special taste. Harga, kuantitas, dan ketersediaan bakpia di sini memang sedikit kurang bersahabat. Namun, cita rasanya tidak akan bisa ditemukan pada bakpia merk lain. Jika Anda tertarik dengan bakpia rasa durian khususnya, pastikan Anda melakukan pemesanan jauh hari sebelumnya atau Anda akan kehabisan.


Tidak lengkap rasanya jika berwisata ke Kota Yogyakarta tanpa mencicipi makanan andalan kota ini, gudeng. Gudeng Yu Djum, Jl. Karangasem CT III / 22, Yogyakarta, menjadi perhentian terakhir wisata kuliner kami. Tempatnya agak terpencil. Namun, jika Anda melewati jalan yang benar, Anda akan menemukan area parkir yang penuh dengan mobil bernomor polisi selain AB. Disambut oleh musik keroncong yang dimainkan dan dilantunkan oleh sekelompok seniman paruh baya, saya merasa berada di era post kemerdekaan. Saya membungkus satu besek gudeng untuk dibawa ke Surabaya. Jangan lupa untuk berpesan pada pelayan bahwa pesanan yang dibungkus akan di bawa ke tempat tujuan yang cukup jauh. Mereka akan memisahkan isi gudeg yang basah dan kering agar tahan lebih lama.

Perjalanan kami berakhir pada hari Minggu, 4 September 2011, pada hari terakhir arus balik. Meskipun perjalanan sedikit macet, puji Tuhan kami dapat kembali di Surabaya dengan selamat. Liburan yang singkat namun tak terlupakan. Anyway, Ms. Zeng berjanji pada saya bahwa ia akan membuat posting cerita perjalanan kami di dalam blog-nya, hanya saja... – dengan ulasan yang lebih ‘vulgar’ atas kegilaan-kegilaan dan ketidak-masuk-akalan yang kami lakukan selama di Kota Yogyakarta. Oh no, can’t read it... Pada akhirnya, saya berharap semoga ulasan seni dan kuliner ini bisa bermanfaat bagi Anda. Thank’s for your time...

Mario Arthoni

Saturday, September 17, 2011

Potato Head Beach Club Review

Let’s take a break for a short trip to Bali...

Let me introduce you Potato Head Beach Club, located in Jalan Petitenget, Seminyak, Kuta, Bali, Indonesia. Officially opened in December 2010, Potato Head is a great designed coastline club. I was there for the first time in June 2011 while I had my trip to Bali, recommended by my crazy friend, Mr. Kelvin. It is the sharpest place to get chilled out yet to have a crazy party.

Potato Head is a private building that can’t be seen from the main street. Reach the drop-off area, and you’ll find an art installation which is the building itself. An installation of hundreds rustic window shutters! I stopped there for minutes just to admire such cool artwork.

Headed up to the main area, there will be a walkthrough surrounded by the rustic window shutters. A funky bar with touch of vintage furniture is going to be a nice greeting. Five steps ahead you’ll find a vast grassy area with some swimming pools instead of dancing floor. How I love the outdoors! Unifying the shore with the building, Potato Head has done a brilliant layout design.

I was there when the sun set. The guys picked a spot between the grass park and the beachside infinity pool. Best place to enjoy the view. They served the best cocktail for us. For sure, try the tropical drinks!

There won’t be any good chill-out spot without the chill-out mix. Yes, they played very nice chill-out music! Love the chill-out... They got the best sound system that could make it sounds good in the outdoor. I wonder how the party after dark would happen.

Well, this is the fact where a great design could change the shabby Seminyak’s coastline onto the incredibly cool and distinctly un-shabby Potato Head Beach Club. I’m sure I will go there for my next trip to Bali. A pretty expensive spot to hang out, but it is worth for. So, don’t miss it guys...

Mario Arthoni

Greetings...

Greetings,

This is a start for me to create and write a blog. Inspired from someone who used to be (and yet still be) the special person for me who has wrote spectacular dreams, shared feelings, ideas, and thoughts on a blog.

“Thank you for your sweet poems that you’ve wrote for me – although – I know it is too late now to consider how precious they are.”

So, where should I start?...
Maybe some art and design reviews (as my expertise in interior design) would be an interesting topic. I hope I can make a pretty simple writing which could be easily understood.

Salam,

Ini adalah sebuah permulaan bagi saya untuk membuat dan menulis sebuah blog. Terinspirasi dari seseorang yang pernah menjadi (dan tetap menjadi) seseorang yang spesial bagi saya yang telah menulis impian, curahan hati, ide, dan pemikirannya yang spektakuler dalam sebuah blog.

“Terima kasih atas puisi-puisi yang pernah kau tulis untukku – meskipun – aku tahu sekarang sudah terlambat untuk menyadari betapa berharganya itu semua.”

Jadi, dari mana saya harus mulai?...
Mungkin beberapa kajian seni dan desain (sesuai keahlian saya dalam bidang desain interior) akan menjadi topik yang menarik. Saya harap saya bisa membuat tulisan yang cukup sederhana yang bisa mudah dipahami.

Mario Arthoni